Aku sering diancam
juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
sampai dimana kapan
juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
sampai dimana kapan
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Aku sering diancam
juga teror mencekam
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
di kursi-listrikkan ataupun ditikam
juga teror mencekam
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
di kursi-listrikkan ataupun ditikam
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Tak akan berhenti
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
di kursi-listrikkan ataupun ditikam
Aku bisa dibuat tak bernyawa
di kursi-listrikkan ataupun ditikam
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Lirik diatas adalah lirik dari lagu milik band Efek Rumah Kaca (ERK) yang berjudul Di Udara. Band indie asal Jakarta ini selalu mengangkat tema sosial pada lirik-lirik lagu besutannya. Memiliki 3 personel bernama Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (vokal latar, bass), Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar), band ini telah menelurkan 2 album yaitu Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008). Di Udara adalah single ketiga yang terdapat di album pertama mereka.
Lagu Di Udara secara implisit bercerita tentang kematian Munir Said Thalib pada tanggal 7 September 2004 lalu. Dengan lagu ini, ERK ingin agar kasus ini tidak hanya diketahui oleh kalangan aktivis saja. Mereka juga ingin menyerukan kepada masyarakat luas tentang isu kematian Munir. Melalui lagu ini pula, band yang telah berdiri sejak tahun 2001 ini, ingin agar masyarakat sadar bahwa keadilan di Indonesia sulit ditegakkan. Dan nantinya akan muncul “Munir-Munir” baru yang akan melanjutkan perjuangan almarhum Munir.[1]
Tanda yang paling jelas bahwa lagu ini menggambarkan kematian Munir terdapat pada penggalan lirik “Aku bisa diracun di udara”. Seperti diketahui, Munir adalah seorang pejuang HAM yang meninggal di sebuah pesawat dalam perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam. Ia diduga diracuni oleh seorang pilot bernama Pollycarpus Budihari Priyanto. Namun hingga kini, kasusnya masih belum jelas dan menggatung begitu saja.
Jika ditilik dari analisis semiotik, terdapat 3 konsep dasar semiotik, yaitu Semiotik Pragmatik, Semiotik Sintaktik, dan Semiotik Semantik. Pada lagu Di Udara ini, menggunakan konsep Semiotik Semantik. Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan arti yang disampaikan. Sedangkan dari segi macam-macam semiotik, lagu Di Udara termasuk ke dalam Semiotik Struktural. Menurut Pateda (2001: 29) dalam Sobur (2001: 101), Semiotik Struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Dari lagu ini, kita dapat melihat tanda bahwa menjadi seorang pembela keadilan tidaklah mudah. Munir contohnya, seringkali ia diancam, dibuat menderita, dibuat tak bernyawa, juga di siksa di kursi listrik atau pun ditikam. Namun, ERK juga ingin memberi tanda semangat bahwa orang-orang seperti Munir tak akan pernah mati dan berhenti dalam membela keadilan hingga titik darah penghabisan.
Banyak sekali lirik-lirik lagu yang memiliki tanda dan dapat di analisa dalam kajian semiotik. Musik/lirik sendiri dinilai sebagai salah satu jalan keluar untuk mengeluarkan ide akan kegelisahan yang dimiliki sang pemilik lagu. Para peneliti pun banyak yang menjadikan musik/lirik sebagai teks yang digunakan dalam kajian semiotik. Menurut Zoest (1996), ada 3 alasan mengapa para peneliti memilih musik/lirik sebagai kajiannya. Pertama, agar dapat mengetahui unsur - unsur struktur musik sebagai ikonis dari gejala neurofisiologis pendengar. Kedua, dapat agar mengetahui gejala - gejala struktural dalam musik sebagai ikonis dari struktural dunia penghayatan. Ketiga, untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan musik lewat indeksial.
Selain ERK, musisi lain pun banyak yang menjadikan lirik lagu mereka sebagai kritik sosial akan kenyataan yang ada. Sebut saja Iwan Fals pada lagu berjudul Bento, yang merupakan singatan dari Benci Soeharto. Sebuah lagu yang berkisah tentang seorang konglomerat kaya raya yang bisa melakukan apa saja berkedok kuasa. Lalu lagu Generasi Patah Hati yang dinyanyikan oleh band asal Yogyakarta bernama Sheila on 7. Lagu ini bercerita tentang kehidupan seseorang di jaman yang serba susah, dan merasa patah hati terhadap para penguasa negeri.
Referensi:
Hasan, Mulyani. 2008. Munir dan Efek Rumah Kaca, dari http://demo.melsamedia.com/mediabersama/wawancara/munir-dan-efek-rumah-kaca, diakses pada 8 Mei 2011.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tanpa nama. Tanpa tahun. Efek Rumah Kaca (group musik), dari http://id.wikipedia.org/wiki/Efek_Rumah_Kaca_%28grup_musik%29, diakses pada 8 Mei 2011.
*Tulisan hari ke-9 di #31HariMenulis ini adalah tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Maaf kalo seandainya banyak koreksi, maklum saya ga begitu ngerti ERK. Ini aja cuma dapet ide dari Bayu, hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar