Minggu, 03 Mei 2020

Empat Tren di Kala Pandemi yang Nggak Saya Ikuti

Banyak hal-hal baru yang muncul selama pandemi ini. Saya pikir, karena saya orangnya FOMO (Fear of Missing Out), saya pasti mengikuti tren terbaru. Ternyata, saya bisa juga lho jadi JOMO (Joy of Missing Out).

Ini dia empat tren yang ramai di media sosial, tapi saya sampai sekarang juga belum niat ikutan. Nggak tau besok, hahaha!

1. Dalgona Coffee

Selain karena nggak suka susu putih, saya juga nggak punya mixer sih hahaha. Jadi emang nggak minat aja buat bikin ini. Saya mah mending bikin kopi susu sachet-an aja yang 10,000 dapet serenceng.


2. #PassTheBrush Challenge 
Saya nggak ikutan, karena emang kalau dandan ya cuma begitu-begitu aja. Sunscreen, bedak tabur, lipstik, alis. Udah. Hahahaha. Jadi kayak sama aja sebelum dandan dan sesudah dandan. Pengennya bikin #PassTheKorpri sih karena pe-en-es, tapi kok kayak nggak ada yang mau. Seorang doang yang mau. Ya masa cuma berdua, kan nggak seru yaaa hahaha.



3. Virtual Photoshoot
Kalau difotoin, ya saya mah seneng-seneng aja. Masalahnya nih, monmaap, web cam laptop saya cuma ala kadarnya. Buat Zoom meeting aja burem, apalagi buat foto-foto ya kaaannnn. Yang ada berasa pake filter jadul kan...


4. Olahraga di Rumah
Nah, ini... Kenapa yaaa, saya kok sama aja gitu malesnya hahaha. Banyak influencer yang suka kasih tutorial, tapi ya tetep aja saya males. Hmm mungkin karena saya masih kadang harus ke kantor ngejar kereta dan berdiri di kereta kali, ya. Jadi itu bisa diitung olahraga juga HAHAHA!


Jadi kesimpulannya, ternyata saya bisa lho jadi orang yang JOMO. Terima kasih rasa malas yang telah membebaskan saya dari keirian duniawi ini hahaha.

Sabtu, 02 Mei 2020

Bisa Sekolah Adalah Sebuah Privilese, Kamu Harus Syukuri Itu

"Yang bisa membebaskan kemiskinan adalah pendidikan."
Gitu kata banyak orang. Saya setuju sih sama hal itu.

Saya tinggal di lingkungan yang bisa dibilang sebagian besar warganya menengah ke bawah. SES B ke C mungkin kalau bahasa marketing. Pekerjaan bapak-bapak di sini memang ada beberapa yang menjadi polisi, tapi banyak juga yang menjadi abang ojek, tukang parkir, atau kuli bangunan. Anak-anak mudanya hampir sebagian besar hanya sekolah sampai SMA, lalu berbondong-bondong melamar ke pabrik sekitaran rumah. Banyak juga yang setelah SMP, malas untuk sekolah di jenjang SMA. Hanya sedikit sekali yang sampai kuliah, bisa dihitung pakai jari malah. Beberapa dari anak-anak yang orang tuanya mampu pun, seringkali nggak ingin lanjut kuliah.

Tinggal di lingkungan ini membuat saya merasa sangat bersyukur. Pendidikan adalah sebuah privilese menurut saya. Bisa sekolah sampai tingkat universitas dan punya orang tua yang mendukung, privilese yang sangat-sangat saya syukuri. Saya akui, orang tua saya termasuk ke SES C. Bapak saya sudah pensiun saat saya kuliah semester 4. Saya pernah mengalami susahnya merantau saat kuliah. Nyari beasiswa sana sini, kerja part time ini itu. Keadaan memang sulit, tapi saya tetap lulus kuliah. Dua adik saya juga semuanya kuliah.

Walau saya sering beda pendapat dan kadang nggak suka sama keputusan-keputusan hidup orang tua saya, salah satu alasan saya tetap hormat sama mereka karena mereka mengizinkan saya untuk mengenyam pendidikan. Orang tua saya memberikan privilese itu untuk saya, untuk adik-adik saya. Orang tua saya, yang dari segi keuangan nggak jauh berbeda sama tetangga-tetangga saya, tetap mendorong anak-anaknya untuk sekolah. Orang tua saya, yang mungkin hutangnya di mana-mana untuk biaya uang pangkal masuk, nggak pernah menyuruh saya dan adik-adik untuk berhenti sekolah dan harus bekerja.

Sekarang, saya nggak bilang kalau sudah terbebas dari kemiskinan. Tapi seenggaknya, sekarang saya bisa kasih uang belanja ke Ibu saya dan kami sekeluarga nggak perlu lagi bingung mau makan apa tiap hari. Adik saya yang baru saja bekerja, hari ini bisa beliin Ibu saya HP baru walau second.

Di tengah pandemi seperti ini, saya bersyukur kami sekeluarga masih bisa bertahan dan masih bisa ikut bantu tetangga sedikit-sedikit. Semua hal yang akhirnya kami rasakan sekarang, tak lepas dari privilese yang orang tua saya berikan kepada saya dan adik-adik. Privilese untuk menikmati pendidikan, yang berefek saya dan adik-adik mendapat pekerjaan yang layak. Bonusnya, juga mendapat jaringan pertemanan yang bisa membantu jika kami kesulitan.

Karena sedang Hari Pendidikan Nasional, saya cuma ingin bilang; untukmu yang bisa mendapatkan pendidikan bahkan sampai ke jenjang tertinggi, itu adalah sebuah privilese. Jangan lupa syukuri itu dan jangan lupa untuk memanfaatkan dengan sebaik-sebaiknya.

Jumat, 01 Mei 2020

Merayakan Hari Buruh dengan "Turun ke Jalan"

Selamat Hari Buruh untuk saya, kamu, kita, dan semua orang yang bekerja masih harus dibayar orang! Hehehe.

Apa yang kamu lakukan di Hari Buruh ini? Enaknya rebahan sih emang karena harus #dirumahaja. Tapi kalau saya tadi harus turun ke jalan. Turun ke jalan dalam arti sebenarnya, ya. Hahahaha.

Singkat cerita, saya lagi jualan Sirup Jahe, dan ada teman yang pesan untuk re-seller. Saya tinggal di Bekasi, teman tinggal di Meruya, Jakarta Barat. Akhirnya kami sepakat janjian di Stasiun Juanda, biar di tengah-tengah.

Taraaa, buat yang pengen tau gimana Commuter Line di kala PSBB dan Hari Buruh. Ini dia...


Sampai Stasiun Bekasi jam 13.30 WIB
Di dalam Commuter Line Bekasi - Jakarta Kota, ya masih sama kayak hari biasa sih hehe
Di Stasiun Juanda nyaris nggak ada orang
Di Stasiun Juanda cuma kasih Sirup Jahe (ini ada dua tas harusnya haha), terus pulang deh
Kereta pulang dari Stasiun Juanda ke Stasiun Bekasi lebih sepi, jam 14.30
Bonus foto 👌

Hari ini karena tanggal merah, itungannya sepi sih Commuter Line. Kalau hari biasa, walau PSBB, ya masih lumayan rame lah hahaha.

Yak, baiklah demikian cerita turun ke jalan saya di Hari Buruh ini. Selamat sekali lagi!


Senin, 06 Mei 2019

#PelajaranRamadan: Tentang Berkumpul dengan Keluarga

Es Sirup Mangga Nutrijel, menu takjil berbuka


"Jadi PNS itu enaknya nanti kalau udah punya keluarga, apalagi bulan puasa. Sebelum Ashar udah pulang, jadi bisa nyiapin buka puasa di rumah."

Kalimat yang berulang kali dibilang Ibu kalau saya lagi cerita belum betah jadi PNS. Masuk bulan ketiga jadi PNS, eh masih CPNS deh haha, emang saya masih dalam tahap penyesuaian banget. Maklum empat tahun lebih kerja di perusahaan dengan start-up life, hehe.

Tapi hari ini, di hari pertama puasa Ramadan, saya baru merasakan senangnya jadi (C)PNS. Ke luar kantor jam 3 sore. Jam 5 sore sudah sampai di rumah. Itu juga karena Commuter Line ketahan-tahan, kalau nggak ketahan, mungkin 4.30 sudah sampai rumah.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah saya kerja kantoran, saya bisa buka puasa di rumah! Bareng sama Ibu, Bapak, dan Adik Laki-laki saya yang kebetulan lagi di rumah.

Lagi-lagi saya mengamini, Tuhan itu nggak kasih yang kita inginkan, tapi yang kita butuhkan...

Selamat berpuasa, ya, bagi yang menjalankan. Semoga segala ibadahnya dilancarkan... ;)





#PelajaranRamadan
#Hari1

Minggu, 28 Mei 2017

5 Hal yang Diperhatikan Generasi Millennial Saat Memilih Kerja



Beberapa bulan ke belakang, obrolan tentang Generasi Langgas atau Generasi Millennial memang lagi hangat-hangatnya dibicarakan. Wajar saja, karena generasi yang lahir antara tahun 1980 sampai dengan 2000 awal ini, lagi mendominasi dunia kerja. Topik tentang millennial pun nggak hanya muncul di berita online saja, tapi juga mulai merambah ke obrolan antar teman, baik secara langsung maupun di grup-grup chat.

Seperti yang saya alami. Belum lama ini, salah satu dari sekian grup WhatsApp saya yang aktif, yaitu Grup KIJKT5 Kelompok 52 (grup kelompok Kelas Inspirasi saya tahun lalu), sedang membahas tentang pekerjaan khususnya hal yang harus diperhatikan ketika memilih pekerjaan. Salah satu teman saya, Putri, yang bekerja di sebuah industri otomotif, melemparkan sebuah pertanyaan, hal apa saja sih yang jadi prioritas kami untuk memutuskan bekerja di sebuah perusahaan, termasuk kepada keputusan tetap bertahan atau harus resign.

Lalu dari sepuluh orang yang ikutan menjawab di grup, saya akan bahas lima poin sesuai peringkat, tentang hal-hal yang diperhatikan Generasi Millennial saat memilih kerja. Walau hanya sepuluh responden, tapi anggap lah bisa mewakili working millennial, karena kami bersepuluh ini berasal dari latar belakang yang beragam. Mulai dari millennial baru lulus kuliah sampai yang sudah bekerja tahunan. Mulai dari pekerja start-up sampai PNS. Mulai dari dokter sampai wartawan. Mulai dari karyawan di perusahaan baru sampai di perusahaan ternama.


1. Jenjang karir

Karir adalah peringkat pertama dari pilihan kami. Sebagai millennial, sudah bukan rahasia lagi kalau kami generasi yang butuh apresiasi, hehehe. Iqbal, seorang wartawan sebuah media besar di Jakarta berpendapat, "Buat gue, gaji memang penting, tapi kalau gaji gede karir mandek dan atasan ngebetein juga bikin nggak betah."

Agak sombong sih memang kedengarannya, tapi mungkin ini setara dengan energi kami yang selalu ingin belajar banyak hal baru. Seperti yang dibilang Rama, millennial termuda di grup kami yang baru saja lulus dan bekerja sebagai staff IT. "Kalau gue sih pilih kantor yang bisa mengembangkan ilmu gue lagi, yang nggak bikin stuck ilmunya. Soalnya haus ilmu, hehehe," katanya.

Karir juga bikin Wulan, staff legal yang sudah kerja lima tahun di perusahaan FMCG ternama, pengen cari kesempatan baru. "Udah enak sih, karyawan tetap, gaji dan benefit lumayan, tapi kalau udah lima tahun gini-gini aja karirnya, jadi suka kepikiran cari yang baru."


2. Lingkungan kerja

Bagi saya (saya juga termasuk ke dalam sepuluh responden, jadi boleh kan ya nulis pendapat sendiri, hehe) yang tipe orangnya sangat kolaboratif, lingkungan kerja menyenangkan harus jadi prioritas. Karena saya jadi nggak bisa kerja kalau nggak punya teman di kantor. Selain teman kerja, juga teman untuk sekedar berbagi gosip receh atau sekedar tertawa akan hal yang sebenarnya nggak lucu-lucu banget. Untungnya kantor saya yang didesain berlingkungan semi start-up, memenuhi kebutuhan itu.

Walau terkenal sebagai generasi adaptif, nyatanya lingkungan kerja, termasuk di dalamnya teman-teman, atasan, suasana, dan job description masih menjadi salah satu pertimbangan utama para working millennial.


3. Gaji dan fasilitas

Sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial, nggak bisa dibohongi kalau gaji jadi salah satu pertimbangan. Umumnya, tujuan manusia bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kegiatan bersosialnya. Tentu saja dengan uang.

Nah tapi uniknya, bab gaji ini bukan jadi pertimbangan paling utama bagi working millennial. Pembuktiannya ada di pendapat Iqbal dan Wulan di bagian "Jenjang karir" di atas. Beberapa dari millennial pun lebih concern mengenai fasilitas kantor selain gaji, seperti fasilitas makan siang, fasilitas olah raga, atau bahkan fasilitas hiburan di kantor.


4. Lokasi kantor

Bagi pekerja ibukota yang tinggalnya bukan di ibukota (baca: kerja di Jakarta tapi tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi), lokasi juga menjadi hal penting. Mengingat biaya kost di Jakarta yang kian mahal dan bisa memotong hampir sepertiga atau bahkan setengah gaji, adalah hal bijak bagi kami untuk mempertimbangkan lokasi kantor.

"Pertimbangan gue sih lokasi harus deket rumah, jadi nggak berat di ongkos dan uang gajinya cukup," ungkap Lissa, seorang dokter yang prakter di rumah sakit dekat rumahnya di daerah Jakarta Utara. Lain lagi dengan Indah, karyawan bank syariah yang sudah bertahun-tahun jadi anker, nama keren dari anak kereta. "Gue mah kerja dimana aja, tapi yang penting harus deket stasiun kereta, biar gampang pulang perginya," tambahnya yang sehari-hari harus pulang pergi Bekasi - Jakarta Selatan.


5. Sesuai dengan passion

Dari kelima pertimbangan, bekerja sesuai dengan passion jadi urutan paling buncit. Memang kenyataannya, banyak dari kami yang bekerja nggak sesuai dengan jurusan kuliah atau nggak sesuai dengan kesenangan sebenarnya. Tapi toh kami masih bertahan di pekerjaan masing-masing. Seenggaknya sampai tulisan ini diterbitin, hahaha.

Ada beberapa dari kami yang ingin mengejar passion-nya. Tapi realitanya, masih tetap bertahan di kantor sekarang. Contohnya adalah Putri, si pemberi ide bahasan ini. "Kadang pengen juga ngerasain nyoba di perusahaan yang sesuai background atau passion, tapi di kantor sekarang sudah ada di comfort zone, jadinya tetep di sini nggak resign."

Beberapa dari kami pun mencoba memenuhi hasrat dan kesenangan kami, seperti senang mengajar, senang fotografi, atau bahkan senang berjejaring, dengan mengikuti Kelas Inspirasi. Dengan begitu, kami tetap bisa bekerja di kantor masing-masing, tapi passion kami tetap tersalurkan di komunitas ini, hehehe.


Dan lalu, obrolan tentang hal ini ditutup dengan pendapat dari Rosa, anggota grup yang kami seniorkan karena pengalaman kerjanya yang sudah banyak dan malang melintang di berbagai perusahaan, "Sebaiknya, kalau kalian mau cari pekerjaan baru nggak hanya to increase our salary but how to build our career. Dan bagi gue yang sudah beberapa tahun kerja, keja itu nggak cuma ngejar aktualisasi dan cari uang aja, yang paling penting adalah bisa berkontribusi buat orang sekitar kita."


Jadi, kalau kamu gimana nih? Selain lima hal di atas, ada hal lain kah yang dijadikan pertimbangan saat memilih kerja?