Lempuyangan, salah satu stasiun yang sering saya datangi |
Pengalaman
saya menaiki kereta api sudah bermula sejak saya masih belum bisa jalan, atau
mungkin sejak saya berada di dalam kandungan. Dulu, ketika orangtua saya belum
memiliki kendaraan pribadi, saya dan keluarga selalu menggunakan kereta api
jika bepergian. Kebetulan tempat yang sering saya kunjungi adalah rumah Bude di
Rawamangun dan rumah Mbah di Karanganyar, Kebumen. Praktislah sejak kecil saya
hapal semua stasiun dari Bekasi-Jatinegara, jika kerumah Bude, dan dari
Bekasi-Karanganyar, jika kerumah Mbah. Berbagai cerita terjadi dari
pengalaman-pengalaman saya naik kereta api. Dan saya akan sedikit berbagi
tentang cerita-cerita saya selama naik kereta api.
Ketika saya
kelas 3 SMA dulu, saya mengikuti bimbel yang berada di SMAN 8 Jakarta. Karena itulah,
setiap hari Minggu saya harus naik KRL Jabodetabek dari Stasiun Bekasi turun di
Stasiun Jatinegara lalu lanjut angkot hingga SMAN 8 Jakarta. Saya lebih sering memilih
naik KRL Ekonomi seharga Rp 1.500,00 dibandingkan dengan KRL Ekonomi AC seharga
Rp 4.500,00. Alasannya jelas karena lebih murah, hehe. Untuk lebih menghemat
biaya, setiap Minggu pagi saya sudah berada di Stasiun Bekasi jam 05.30 agar
dapat naik kereta dari Jawa Tengah yang bisa saya naiki dengan gratis, hahaha. Pernah
dengan alasan biaya juga, saya rela menunggu 4 jam di Stasiun Jatinegara demi
naik KRL Ekonomi. Padahal KRL Ekonomi AC sudah berkali-kali lewat. Hahaha entah
saya ini irit atau kelewat pelit, hingga menambah Rp 3.000,00 untuk KRL Ekonomi
AC saja saya tidak mau :p
Kejadian-kejadian
bodoh karena keteledoran saya pun beberapa kali saya alami. Awal tahun 2010,
untuk pertama kalinya saya naik Kereta Senja Utama Jogja dari Stasiun Tugu. Di jadwal,
Senja Utama berangkat jam 18.30. Saya pikir berangkat dari kontrakan (di Jakal
Km 6,5) jam 17.00 tidak akan tertinggal kereta. Sayangnya, karena saya ke
stasiun naik Trans Jogja, tepat jam 18.30 Trans Jogja baru sampai di halte Inna
Garuda. Langsung lah saya dengan brutalnya lari menuju Stasiun Tugu. Daaaaaaaan
tidak sampai 3 detik saya berada di dalam kereta, kereta itu langsung jalan! Saya
langsung lemas selemas-lemasnya. Penderitaan tak cukup sampai disitu. Ketika sampai
di Stasiun Bekasi, saya baru tahu kalau Senja Utama Jogja tidak berhenti di
Bekasi! Kereta yang berhenti adalah Senja Utama Solo bukan Jogja. Bagaimana perasaan
kamu, ketika dari jendela kereta kamu melihat Bapakmu, tapi kereta tetap melaju
dan kondisi handphone-mu mati? Yak sempurna
sekali penderitaan saya, hahaha. Akhirnya dengan tidak tahu malu, saya memohon
kepada Mas-yang-saya-tidak-kenal-siapa untuk meminjam handphone-nya dan mengirim sms ke Bapak saya. Untung Mas itu baik
hati, sehingga saya tak hanya diijinkan untuk sms saja, bahkan disuruh langsung
menelepon Bapak saya, hehehe. Setelah itu saya turun di Stasiun Jatinegara. Saya
pikir, ketika saya sampai, Bapak saya juga sudah sampai. Tapi ternyata belum
saudara-saudara! Dengan kondisi handphone
yang mati, saya hanya bisa luntang-lantung seperti anak hilang. Kalau siang
tidak masalah, tapi saat itu adalah jam 05.00! Untungnya lagi, saya menemukan
tukang buah yang juga menjual jasa men-charger
handphone seharga Rp 2.000,00 per
jam. Oh terpujilah wahai engkau tukang buah merangkap tukang charger handphone. Lalu tak lama
kemudian Bapak saya datang. Dan berakhirlah kisah bodoh saya dengan Kereta
Senja Utama.
Kebodohan lain
terjadi ketika saya pertama kalinya saya naik Kereta Bogowonto. Dulu, kereta
ini adalah inovasi terbaru PT KAI yang menyediakan kereta ekonomi dengan
fasilitas AC untuk kereta jarak jauh. Saya naik dari Stasiun Bekasi. Seperti biasa,
ketika sudah naik, para penumpang langsung mencari dimana ia duduk. Kursi saya
(kalau tidak salah) bernomer 16 B di gerbong 4. Tapi ternyata kursi saya sudah
ditempati seorang ibu dengan ketiga keluarganya. Sontak saya langsung protes. Ibu
itu pun tak mau pindah karena nomer yang ia duduki benar. Hingga akhirnya
petugas pun datang melerai kami. Setelah di cek ternyata saya salah pesan tiket!
Huahahaha. Misal, hari itu adalah tanggal 10 Mei, tapi di tiket saya tertulis
11 Mei. Padahal yang memesan tiket dan menulis tanggal itu ya saya sendiri. Sungguh
saat itu saya malu sekaligus takut. Malu karena sudah protes dan ngotot ke Ibu,
dan takut disuruh turun oleh petugas. Tapi ternyata di gerbong paling belakang
banyak kursi kosong, sehingga petugas menyuruh saya pindah ke gerbong belakang.
Setelah agak tenang, saya menelepon Ibu, dan reaksi Ibu saya hanya tertawa
terbahak-bahak -_____-
Bersambung...
*tulisan kesepuluh dalam #31HariMenulis tahun kedua
Bersambung...
*tulisan kesepuluh dalam #31HariMenulis tahun kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar