Foto diatas diambil ketika saya
mengikuti event Transmania Broadcasting Camp (TBC) 2012 pada 21-22
April lalu. Event yang berisi workshop dan outbound ini, diselenggarakan oleh tim Public Relation Trans TV dibantu anak-anak Transmania Jakarta. Sebelumnya,
Transmania adalah sebuah komunitas yang dibentuk untuk para pemirsa setia Trans
TV. Dan TBC 2012 sendiri adalah acara dimana 100 orang Transmania berusia muda dari
seluruh Indonesia, dikumpulkan di Jakarta. Saya tidak akan bercerita tentang
dua hari saya berada di event
tersebut. Tapi saya akan bercerita tentang pengalaman lain yang ternyata saling
berhubungan dengan keikutsertaan saya di TBC 2012.
Beberapa waktu lalu, Korps Mahasiswa
Komunikasi (Komako) bekerjasama dengan SCTV mengadakan sebuah workshop dan lomba news presenter atau reporter berita. Hadiahnya cukup menggiurkan,
yaitu mendapatkan intensif training selama
satu minggu di SCTV. Saya, sebagai seseorang yang tertarik menjadi reporter tak
berpikir panjang untuk mengikutinya. Terdapat dua tahapan lomba. Tahap pertama
audisi di depan ketiga juri dari SCTV, lalu tahap kedua terpilih lima orang
untuk tampil sebagai reporter di depan seluruh peserta workshop.
Selama lima finalis unjuk gigi, saya
dan Nesti (Kom ’09) selalu mengomentari penampilan para finalis. Mereka kurang
tenang lah, artikulasinya tak jelas lah, terlalu banyak gerak lah, salah
mengucapkan kalimat lah, dan hal-hal yang serba kurang lainnya. Saya dan Nesti dengan
mudahnya mengucapkan semua itu, walaupun kami sadar belum tentu kami bisa
seperti mereka ketika berada di depan audience.
Kejadian yang dialami para finalis
tersebut akhirnya terjadi pada saya saat mengikuti TBC 2012 kemarin. Pada sesi workshop News Presenting oleh Aditya Wardhani dan Novita Putri, reporter
Trans TV, saya diberi kesempatan untuk maju menjadi reporter bersama keempat
teman di depan seluruh peserta workshop.
Entah karma atau bukan, hal-hal serba kurang yang saya ungkapan dulu kepada
finalis lomba di jurusan, berbalik kepada saya. Sebenarnya saya telah menguasai
materi, hanya saja saya tak pandai menguasai diri. Hasilnya, penampilan saya
buruk. Saya kurang tenang, artikulasi saya tak jelas, saya melakukan terlalu
banyak gerakan tangan, dan beberapa kali saya salah mengucapkan kalimat.
Sungguh saya merasa malu saat itu. Bagaimana
bisa saya menyia-nyiakan kesempatan menjadi reporter yang baik di depan reporter
profesional? Tapi dunia tak berkahir sampai disitu kan? Saya masih percaya
pepatah kegagalan adalah awal dari keberhasilan. Setidaknya saya telah mencoba
menjadi reporter di depan banyak orang. Meski hasilnya tak sesuai dengan
keinginan. Dan sebisa mungkin saya tak lagi mencela kekurangan orang lain,
kalau saya bahkan tak bisa menyamai kemampuan orang tersebut.
*hari kedua #31HariMenulis tahun kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar