Sabtu, 19 Mei 2012

Beda Zaman, Beda Pemahaman

Foto bareng anak-anak panti


Februari lalu, saya dan beberapa teman panitia Career Days IX, mengunjungi sebuah panti asuhan (yang saya lupa namanya, hehe) di daerah Magelang. Disana kami saling berbagi keceriaan. Tak hanya kami yang memberi, kami juga diberi tawa dan canda dari tingkah polah mereka. Anak-anak itu sangat suka berbicara dan bernyanyi. Hingga akhirnya beberapa dari mereka kami minta untuk maju dan menyanyikan sebuah lagu. Dan terjadilah kejadian seperti percakapan dibawah ini:

“Kamu mau nyanyi apa?”
“Nyanyi Satu-satu, Mbak, Mas.
(nyanyi)
Satu-satu, daun-daun berguguran tinggalkan tangkainya…
Satu-satu, burung kecil, beterbangan tinggalkan sarangnya…
Jauh-jauh tinggi, ke langit yang biru…
Andaikan aku punya sayap, ku kan terbang jauh mengelilingi angkasa…
Kan ku ajak ayah bundaku terbang bersamaku, melihat indahnya dunia…”

Ketika anak-anak itu menyebut lagu Satu-satu, yang terlintas di pikiran kami adalah lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu, ternyata yang dimaksud adalah lagu dari Ita-Tara yang berjudul Andai Aku Punya Sayap, hahaha. Ternyata mereka diajarkan lagu tersebut oleh teman-teman LSM (yang saya lupa juga namanya), tapi mungkin karena mereka tidak tahu judulnya, akhirnya menyebut lagu Andai Aku Punya Sayap jadi lagu Satu-satu, hehe. Ya beda zaman, memang beda pemahaman. Di zaman saya dulu, lagu Satu-satu Aku Sayang ibu sangat populer. Tapi di zaman anak-anak itu, lagu Andai Aku Punya Sayap lah yang lebih terkenal.






*tulisan kesembilanbelas dalam #31HariMenulis tahun kedua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar