Foto bareng anak-anak panti |
Februari
lalu, saya dan beberapa teman panitia Career Days IX, mengunjungi sebuah panti
asuhan (yang saya lupa namanya, hehe) di daerah Magelang. Disana kami saling
berbagi keceriaan. Tak hanya kami yang memberi, kami juga diberi tawa dan canda
dari tingkah polah mereka. Anak-anak itu sangat suka berbicara dan bernyanyi. Hingga
akhirnya beberapa dari mereka kami minta untuk maju dan menyanyikan sebuah
lagu. Dan terjadilah kejadian seperti percakapan dibawah ini:
“Kamu mau
nyanyi apa?”
“Nyanyi Satu-satu,
Mbak, Mas.
(nyanyi)
Satu-satu, daun-daun berguguran
tinggalkan tangkainya…
Satu-satu, burung kecil, beterbangan
tinggalkan sarangnya…
Jauh-jauh tinggi, ke langit yang biru…
Andaikan aku punya sayap, ku kan
terbang jauh mengelilingi angkasa…
Kan ku ajak ayah bundaku terbang bersamaku, melihat indahnya dunia…”
Kan ku ajak ayah bundaku terbang bersamaku, melihat indahnya dunia…”
Ketika anak-anak
itu menyebut lagu Satu-satu, yang terlintas di pikiran kami adalah lagu
Satu-satu Aku Sayang Ibu, ternyata yang dimaksud adalah lagu dari Ita-Tara yang
berjudul Andai Aku Punya Sayap, hahaha. Ternyata mereka diajarkan lagu tersebut
oleh teman-teman LSM (yang saya lupa juga namanya), tapi mungkin karena mereka
tidak tahu judulnya, akhirnya menyebut lagu Andai Aku Punya Sayap jadi lagu Satu-satu,
hehe. Ya beda zaman, memang beda pemahaman. Di zaman saya dulu, lagu Satu-satu Aku Sayang ibu sangat populer. Tapi di zaman anak-anak itu, lagu Andai Aku Punya Sayap lah yang lebih terkenal.
*tulisan
kesembilanbelas dalam #31HariMenulis tahun kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar