From Zero to Hero
Pada awalnya, aku hanyalah seorang remaja biasa. Aku bersekolah di salah satu SMA Negeri yang cukup terkenal di kotaku. Hanya saja, aku memang bukan seorang siswa yang jenius seperti teman-temanku yang lain. Sebagian besar dari mereka adalah pemenang dari berbagai lomba tingkat Nasional maupun Internasional. Sementara aku, tidak ada prestasi yang benar-benar bisa aku banggakan. Aku terkadang merasa iri dengan segala prestasi yang mereka dapatkan. Lebih tepatnya, aku merasa minder berada di tengah-tengah orang-orang seperti mereka.
Mereka bisa berbangga dengan diri mereka, dan juga membanggakan kedua orang tua mereka, tapi aku? Apa yang bisa aku banggakan? Mungkin aku tidak bisa membuat prestasi seperti yang mereka capai, tapi aku tidak akan menyerah dengan keadaanku sekarang. Walaupun aku adalah orang yang mempunyai banyak kekurangan, tapi aku akan mencoba membuat segala kekurangan yang ada pada diriku menjadi sebuah kelebihan dan motivasi bagiku. Dalam kamus hidupku, tidak ada yang namanya menyerah.
Menyerah dalam keadaan ini adalah hal bodoh yang sempat terfikir sebelumnya. Bagaimana tidak? Dikondisi yang sangat menjepit aku mulai di hadapkan dengan dua suasana hati berbeda. Disatu sisi aku harus tetap berkeyakinan untuk bisa menjadi hero. Tapi disisi lain aku menyadari it’s imposiblle. Who am I? I’m just a zero. Tapi setelah aku pikir, cukup sudah keterpurukan yang menghinggapi diriku menjadi hal yang dapat aku banggakan. Aku mulai berpikir bagaimana caranya aku harus bisa menyingkirkan lawan-lawanku yang bukan sembarangan. Kepercayaan diri pun sudah mulai hadir untuk bisa keluar dari keterpurukan yang membuat aku terbuai. Dan pertempuran untuk menjadi hero dimulai!
Dimulai tumbuhnya rasa percaya diriku pun diiringi support dari orangtuaku. Mereka sungguh sangat berubah mensuport aku ketika aku sudah memutuskan jalan hidup yang mana yang aku pilih. Fasilitas-fasilitas yang aku dapatkan dari orang tuaku memang tak selengkap dan semenakjubkan fasilitas dari teman-teman “pintar” ku. Ini saja sudah cukup, pekikku dalam hati. Dengan doa mereka, semakin menambah lecutan dalam hati ini untuk belajar semakin keras. Selain itu aku juga memperbaiki ibadahku karena manusia hanya berusaha dan hanya Tuhan yang memutuskan.
Memutuskan untuk kuliah dimana, tak pernah sempat kupikirkan. Awalnya aku hanya berharap untuk bisa menyelesaikan pendidikan menengahku. Tapi realita dunia dan tuntutan atas persaingan mencari pekerjaan membawaku untuk mulai berpikir akan melanjutkan studi ke sebuah perguruan tinggi. Padahal saat itu aku di bayangi oleh sulitnya soal Ujian Nasional yang akan ku hadapi. Tapi untungnya aku berhasil mengerjakan soal-soal ujian tersebut tanpa kesulitan yang berarti. Setelahnya aku mulai mencari informasi tentang dunia perkuliahan, dan Perguruan Tinggi mana yang sekiranya akan menjadi tempatku melanjutkan menuntut ilmu. Akhirnya aku menemukan, ada satu Perguruan Tinggi yang kurasa sangat tepat bagiku, Universitas Gadjah Mada. Aku yakin, pasti di perguruan tinggi itulah kelak tempatku belajar.
Belajar di tempat yang cukup terpandang di dunia pekerjaan adalah impian setiap orang. Aku pun juga begitu. Aku berusaha, berusaha, dan terus berusaha semaksimal mungkin. Namun, semua orang tahu batas kemampuan otakku. Mereka memandangku rendah dengan tatapan sinis seolah-olah ingin berkata,"hei kamu tuh tidak akan pernah bisa berhasil masuk UGM!" Namun tanpa mereka sadari, justru hinaan dan cacian merekalah yang membuatku tetap kuat untuk terus mencoba. Berbekal dengan pengetahuan yang seadanya, aku memulai usahaku dengen membaca buku-buku soal dan mendiskusikannya dengan teman-temanku yang pintar itu.
Itu tidak terlalu banyak membantuku. Semua yang aku pelajari tak ada yang aku mengerti. Buku-buku itu seakan-akan enggan membagi ilmunya kepada ku. Dan hinaan serta cacian mereka semakin membuat ku kehilangan rasa kepercayaan diri yang kemarin sempat ada. UGM seperti hanya ada dalam angan-angan kosong,tak bisa ku raih apalagi aku miliki. Aku merasa seperti orang kerdil yang tak bisa apa-apa. Hanya bisa menjadi sampah masyarakat yang tak tahu apa gunaku hidup di dunia ini. Tuhan pun seperti tak mendengar semua jeritan hatiku yang selalu meronta-ronta memohon keajaiban dari Nya agar memberiku secuil kecerdasan yang tak aku miliki. Mungkin aku hanya bisa ikhlas dan menerima.
Menerima segala kenyataan yang terjadi dalam hidup adalah modal utama menuju keberhasilanku. Berkat hal itu, aku bisa diterima di jurusan favoritku, Komunikasi UGM. Aku tak menyangka sama sekali. Begitu pula dengan orangtua dan teman-temanku. Ini adalah anugerah Tuhan yang indah buatku dan aku sangat bersyukur akan hal itu. Terimakasih Tuhan atas kebesaran dan kuasaMu! Maafkan aku kalau terkadang aku suka mengeluh dengan kehidupanku! Kini aku percaya Engkau selalu memberikan yang terbaik bagi hambaNya. Aku berjanji tak akan menyia-nyiakan berkatMu ini.
Ini semua adalah sepenggal masa laluku ketika aku menjadi seorang zero, disaat semua orang melecehkanku. Memang sekarang aku belum pantas disebut sebagai seorang hero, seperti Martin Cooper atau Edwin Howard Amstrong yang telah berjasa di bidang komunikasi. Namun, dengan segala kemampuanku yang terbatas ini aku akan berusaha mendedikasikan diriku untuk masyarakat. Aku hanya bisa membangun sebuah stasiun radio bersama teman-temanku di Komunikasi UGM dan mencoba membantu para pengamen serta pengemis jalanan untuk bekerja di stasiun radio milikku dan teman-temanku.
Teman-temanku, inilah aku yang dulu bukan apa-apa. Tapi sekarang aku bangkit. Ya! From zero to hero!
Pada awalnya, aku hanyalah seorang remaja biasa. Aku bersekolah di salah satu SMA Negeri yang cukup terkenal di kotaku. Hanya saja, aku memang bukan seorang siswa yang jenius seperti teman-temanku yang lain. Sebagian besar dari mereka adalah pemenang dari berbagai lomba tingkat Nasional maupun Internasional. Sementara aku, tidak ada prestasi yang benar-benar bisa aku banggakan. Aku terkadang merasa iri dengan segala prestasi yang mereka dapatkan. Lebih tepatnya, aku merasa minder berada di tengah-tengah orang-orang seperti mereka.
Mereka bisa berbangga dengan diri mereka, dan juga membanggakan kedua orang tua mereka, tapi aku? Apa yang bisa aku banggakan? Mungkin aku tidak bisa membuat prestasi seperti yang mereka capai, tapi aku tidak akan menyerah dengan keadaanku sekarang. Walaupun aku adalah orang yang mempunyai banyak kekurangan, tapi aku akan mencoba membuat segala kekurangan yang ada pada diriku menjadi sebuah kelebihan dan motivasi bagiku. Dalam kamus hidupku, tidak ada yang namanya menyerah.
Menyerah dalam keadaan ini adalah hal bodoh yang sempat terfikir sebelumnya. Bagaimana tidak? Dikondisi yang sangat menjepit aku mulai di hadapkan dengan dua suasana hati berbeda. Disatu sisi aku harus tetap berkeyakinan untuk bisa menjadi hero. Tapi disisi lain aku menyadari it’s imposiblle. Who am I? I’m just a zero. Tapi setelah aku pikir, cukup sudah keterpurukan yang menghinggapi diriku menjadi hal yang dapat aku banggakan. Aku mulai berpikir bagaimana caranya aku harus bisa menyingkirkan lawan-lawanku yang bukan sembarangan. Kepercayaan diri pun sudah mulai hadir untuk bisa keluar dari keterpurukan yang membuat aku terbuai. Dan pertempuran untuk menjadi hero dimulai!
Dimulai tumbuhnya rasa percaya diriku pun diiringi support dari orangtuaku. Mereka sungguh sangat berubah mensuport aku ketika aku sudah memutuskan jalan hidup yang mana yang aku pilih. Fasilitas-fasilitas yang aku dapatkan dari orang tuaku memang tak selengkap dan semenakjubkan fasilitas dari teman-teman “pintar” ku. Ini saja sudah cukup, pekikku dalam hati. Dengan doa mereka, semakin menambah lecutan dalam hati ini untuk belajar semakin keras. Selain itu aku juga memperbaiki ibadahku karena manusia hanya berusaha dan hanya Tuhan yang memutuskan.
Memutuskan untuk kuliah dimana, tak pernah sempat kupikirkan. Awalnya aku hanya berharap untuk bisa menyelesaikan pendidikan menengahku. Tapi realita dunia dan tuntutan atas persaingan mencari pekerjaan membawaku untuk mulai berpikir akan melanjutkan studi ke sebuah perguruan tinggi. Padahal saat itu aku di bayangi oleh sulitnya soal Ujian Nasional yang akan ku hadapi. Tapi untungnya aku berhasil mengerjakan soal-soal ujian tersebut tanpa kesulitan yang berarti. Setelahnya aku mulai mencari informasi tentang dunia perkuliahan, dan Perguruan Tinggi mana yang sekiranya akan menjadi tempatku melanjutkan menuntut ilmu. Akhirnya aku menemukan, ada satu Perguruan Tinggi yang kurasa sangat tepat bagiku, Universitas Gadjah Mada. Aku yakin, pasti di perguruan tinggi itulah kelak tempatku belajar.
Belajar di tempat yang cukup terpandang di dunia pekerjaan adalah impian setiap orang. Aku pun juga begitu. Aku berusaha, berusaha, dan terus berusaha semaksimal mungkin. Namun, semua orang tahu batas kemampuan otakku. Mereka memandangku rendah dengan tatapan sinis seolah-olah ingin berkata,"hei kamu tuh tidak akan pernah bisa berhasil masuk UGM!" Namun tanpa mereka sadari, justru hinaan dan cacian merekalah yang membuatku tetap kuat untuk terus mencoba. Berbekal dengan pengetahuan yang seadanya, aku memulai usahaku dengen membaca buku-buku soal dan mendiskusikannya dengan teman-temanku yang pintar itu.
Itu tidak terlalu banyak membantuku. Semua yang aku pelajari tak ada yang aku mengerti. Buku-buku itu seakan-akan enggan membagi ilmunya kepada ku. Dan hinaan serta cacian mereka semakin membuat ku kehilangan rasa kepercayaan diri yang kemarin sempat ada. UGM seperti hanya ada dalam angan-angan kosong,tak bisa ku raih apalagi aku miliki. Aku merasa seperti orang kerdil yang tak bisa apa-apa. Hanya bisa menjadi sampah masyarakat yang tak tahu apa gunaku hidup di dunia ini. Tuhan pun seperti tak mendengar semua jeritan hatiku yang selalu meronta-ronta memohon keajaiban dari Nya agar memberiku secuil kecerdasan yang tak aku miliki. Mungkin aku hanya bisa ikhlas dan menerima.
Menerima segala kenyataan yang terjadi dalam hidup adalah modal utama menuju keberhasilanku. Berkat hal itu, aku bisa diterima di jurusan favoritku, Komunikasi UGM. Aku tak menyangka sama sekali. Begitu pula dengan orangtua dan teman-temanku. Ini adalah anugerah Tuhan yang indah buatku dan aku sangat bersyukur akan hal itu. Terimakasih Tuhan atas kebesaran dan kuasaMu! Maafkan aku kalau terkadang aku suka mengeluh dengan kehidupanku! Kini aku percaya Engkau selalu memberikan yang terbaik bagi hambaNya. Aku berjanji tak akan menyia-nyiakan berkatMu ini.
Ini semua adalah sepenggal masa laluku ketika aku menjadi seorang zero, disaat semua orang melecehkanku. Memang sekarang aku belum pantas disebut sebagai seorang hero, seperti Martin Cooper atau Edwin Howard Amstrong yang telah berjasa di bidang komunikasi. Namun, dengan segala kemampuanku yang terbatas ini aku akan berusaha mendedikasikan diriku untuk masyarakat. Aku hanya bisa membangun sebuah stasiun radio bersama teman-temanku di Komunikasi UGM dan mencoba membantu para pengamen serta pengemis jalanan untuk bekerja di stasiun radio milikku dan teman-temanku.
Teman-temanku, inilah aku yang dulu bukan apa-apa. Tapi sekarang aku bangkit. Ya! From zero to hero!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar